-->

Sabtu, 11 Juni 2022

Hukum Bercanda Menurut Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Kriteria Dan Tujuannya


Canda Menurut Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Kriteria Dan Tujuannya

Canda tawa merupakan irama kehidupan yang tidak mungkin terhindarkan, apalagi jika kita hidup ditengah masyarakat. Terkadang canda itu menjadi cara untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar kita, bahkan dalam kondisi tertentu canda menjelma menjadi metode pendidikan yang jitu. Tidak bisa dipungkiri, canda di saat-saat tertentu memang dibutuhkan untuk menciptakan suasana rileks dan santai guna mengendorkan urat syaraf, menghilangkan rasa pegal dan capek sehabis melakukan aktifitas yang menguras konsentrasi dan tenaga. Diharapkan setelah itu badan kembali segar, mental stabil, semangat bekerja tumbuh kembali, sehingga produktifitas semakin meningkat.

Hukum Canda Dalam Islam

Pada dasarnya, bercanda hukumnya mubah (boleh), selama materi candaan itu bersih dari semua yang terlarang atau diharamkan dalam agama, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bercanda.

Al-'Iz bin Abdissalam rahimahullah berkata, "Jika ada yang bertanya, 'Bagaimana pendapat kalian tentang bercanda? Maka kami jawab, 'Bercanda boleh bila menimbulkan rasa nyaman, baik itu bagi orang yang mengajak bercanda, atau bagi orang yang diajak bercanda, atau bagi keduanya.[2]

Imam Nawawi rahimahullah juga berpendapat senada sebagaimana disebutkan didalam kitab al-Adzkar (hlm. 581). Di situ, beliau rahimahullah menetapkan bahwa bercanda dengan tujuan merealisasikan kebaikan, atau untuk menghibur lawan atau untuk mencairkan suasana, maka itu tidak terlarang sama sekali, bahkan canda seperti ini termasuk sunnah yang mustahab (disukai).

Diantara dalil-dalil yang mendasari bolehnya bercanda adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dalam kitab Sunannya, no. 1913, dan dalam kitab asy-Syama'il al-Muhammadiyah, no. 238. Menurut beliau hadits ini derajatnya hasan shahih, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata:

قَالُوايَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا؟ قَالَنَعَمْ غَيْرَ إِنِّي لَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا

Para Sahabat berkata, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya engkau mencadai kami." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Betul, akan tetapi saya tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang benar.[3]

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, no. 13817; Abu Daud, no. 4998 dan at-Tirmizi, no.1991 dari Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bernama Anas Radhiyallahu anhu , seorang laki-laki meminta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar dibawa serta di atas tunggangannya, lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا حَامِلُكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ قَالَيَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ نَاقَةٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَوَهَلْ تَلِدُ الْإِبِلَ إِلَّا النُّوقُ

"Aku akan membawamu dengan anak unta." Laki-laki itu berkata, "Wahai Rasulullah! Apa yang bisa saya perbuat dengan anak unta?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Apakah ada unta yang tidak dilahirkan oleh unta betina."[4]

Artinya semua unta itu adalah anak dari unta betina yang melahirkannya.

3. Hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim juga at-Tirmidzi dari Anas Radhiyallahu anhu , dia berkata, "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu bergaul dan membaur bersama kami, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada adikku yang masih kecil:

يَا أَبَا عُميرٍ مَا فَعلَ النُّغَيرُ

 Wahai Abu Umair! Apakah yang telah dilakukan oleh an-nughair?[5]

an-Nughair adalah burung kecil.

Hadit-hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semisal menunjukkan bahwa bercanda itu boleh, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para Ulama. Terkadang hukum mubah (boleh) ini bisa naik derajatnya menjadi mustahab (disunatkan) apabila maksudnya untuk merealisasikan sebuah kebaikan atau menghiburkan lawan bicara, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Imam Nawawi di atas.

Al-Hafiz Ibn Hajar rahimahullah mengatakan, "Candaan yang bersih dari segala yang dilarang dalam agama hukumnya mubah. Apabila bertepatan dengan suatu kemaslahatan seperti bisa menghibur lawan bicara atau mencairkan suasana, maka hukumnya mustahab."[6]

Izzuddin bin Abdissalam as-Syafi'i rahimahullah mengatakan, "Dahulu aku pernah ditanya tentang canda, materinya dan canda yang diperbolehkan, maka aku jawab, 'Canda disunnahkan diantara saudara, teman dan sahabat, karena canda bisa membuat hati senang dan suasana yang bersahabat, akan tetapi dengan syarat materi candaan tidak mengandung unsur tuduhan, ghibah dan tidak berlebihan sehingga bisa mengikis wibawa."[7]

Dalam kitab al-Mausu'ah al-Kuwaitiyah (36/273) disebutkan bahwa bercanda tidak menghilangkan kesempurnaan, bahkan sebaliknya bercanda bisa menjadi pelengkap kesempurnaan jika sesuai dengan aturan syari'at. Misalnya, canda tapi tetap jujur tidak dusta, tujuannya untuk menarik dan menghibur orang-orang yang lemah, atau untuk menampakkan sikap lemah-lembut kepada mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bercanda, namun canda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersih dari segala yang terlarang dan tidak sering dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Canda yang seperti ini hukumnya sunnah. Karena hukum asal perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah wajib diikuti atau sunnah untuk diteladani kecuali ada dalil yang melarangnya. Dan dalam masalah canda ini tidak ada dalil yang melarang. Berdasarkan ini, maka jelas hukumnya sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh para Ulama.

Berdasarkan nukilan perkataan para Ulama di atas diketahui  bahwa bercanda hukum asalnya mubah, namun terkadang bisa menjadi sunnah bila bermaksud menghibur, terutama bila melihat teman atau saudara dalam keadaan susah atau murung. Ini didukung dengan hadits dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa  anak Ummu Sulaim yaitu Abu Umair terkadang diajak canda oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang untuk mencandainya, akan tetapi Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatinya sedang bersedih. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, "Ada apa dengan Abu Umair, saya melihatnya sedang bersedih?" Para Sahabat menjawab, "Wahai Rasulullah! Burung kecil yang biasa dia ajak bermain mati." Lalu Rasulullahpun memanggilnya, "Wahai Abu Umair! Apa yang diperbuat oleh nughair?"

Apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam penggalan kisah di atas bertujuan meringankan beban kesedihan anak kecil yaitu Abu Umair Radhiyallahu anhu yang kehilangan burung kesayangannya.

Hikmah Dari Pensyariatan Canda

Dari pemaparan di atas tampak jelas bahwa hikmah disyariatkan bercanda yaitu menghibur saudara. Karena canda tidak diperbolehkan kecuali jika materinya berisi hal-hal yang bisa menghibur pelaku saja, atau orang yang dicandai atau dua-duanya, sebagaimana perkataan al-'Iz bin Abdissalam rahimahullah.

Namun canda yang diperbolehkan atau bahkan yang disunatkan di atas terikat dengan ketentuan-ketentuan syari'at. Jika ketentuan-ketentuan ini dilanggar, berarti canda itu masuk kategori canda yang tercela dan terlarang.

Kriteria Canda Yang Dibolehkan

Diantara ketentuan-ketentuan itu adalah:

Selalu Jujur Dan Tidak Bohong
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . Ketika para Sahabat berkata, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya engkau menyandai kami." Beliau bersabda, "Betul, hanya saja saya tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang benar (jujur).

Dalil lainnya, hadits yang diriwayatkan al-Mubarak bin Fadhalah dari al-Hasan al-Bashri, beliau berkata bahwa ada seorang nenek datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah! Mintalah kepada Allah Azza wa Jalla agar aku dimasukkan ke dalam surga." Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Wahai Ummu Fulan! Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh nenek-nenek." Mendengar ini, nenek itu pergi sambil menangis. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para Sahabatnya, "Kabarkan kepadanya bahwa dia tidak akan masuk surga dalam keadaan tua. sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً ﴿٣٥﴾ فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا ﴿٣٦﴾ عُرُبًا أَتْرَابًا

Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. [Al-Waqi'ah/56:35-37][8]

Canda Itu Tidak Berlebihan Dan Tidak Dilakukan Secara Rutin
Ar-Rhagib al-Asfahani rahimahullah berkata, "Apabila canda tidak berlebihan, maka itu terpuji."

Canda yang berlebihan akan menyebabkan banyak tawa, terkadang dendam, bisa menjatuhkan wibawa, melalaikan orang dari zikir kepada Allah dan melalaikan hal-hal penting dalam agama. Sedangkan canda yang rutin akan menyibukkan diri dengan permainan dan sesuatu yang sia-sia. Al-Murthada az-Zubaidi rahimahullah mengatakan, "Para imam mengatakan bahwa canda yang berlebihan mencoreng kewibawaan, dan menjauhkan diri dari canda sama sekali, melanggar sunnah dan sirah nabawiyah yang diperintahkan untuk diteladani. Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah."[9]

Di sini ada poin penting yang dilanggar oleh banyak orang, dimana mereka menjadikan canda sebagai sebuah profesi untuk membuat manusia tertawa dengan kedustaan dan berpura-pura (akting), seperti para pelawak dan para kartunis yang sering menjadikan syari'at Islam sebagai bahan candaan, ditambah lagi materinya yang berisi celaan dan tuduhan. Ini semua karena kebodohan mereka terhadap ajaran agama Islam, kurang memiliki rasa malu dan akal mereka lemah. Na'udzu billah. Canda seperti ini akan menimbulkan kemarahan dan dendam di hati serta pelakunya mendapatkan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , sebagaimana dijelaskan dalam riwayat dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Celakalah orang yang mengucapkan sebuah perkataan dusta untuk membuat orang tertawa. Celakalah dia... Celakalah dia[10]

Disebutkan dalam kitab Faidul Qadir, "Rasulullah mengulang-ulang do'anya dengan maksud memberikan gambaran betapa parah celaka yang akan menimpa itu. Karena dusta itu sendiri merupakan sumber semua kejelekan dan inti semua keburukan. Apabila dusta menyatu dengan keinginan memancing tawa yang bisa mematikan hati, menyebabkan lupa, maka akhirnya perbuatan ini menjadi keburukan yang paling jelek."

Sebagian Ulama mengatakan bahwa merupakan kesalahan fatal menjadikan canda sebagai profesi yang dilakukan secara rutin dan berlebihan, kemudian dia berdalih dengan perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Dia ini seperti orang menghabiskan waktu untuk melihat dan menikmati tarian para dancer dan berdalih bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan 'Aisyah Radhiyallahu anhu menonton tarian perang pada hari raya. Ini sebuah kesalahan.

Candanya Tidak Menimbulkan Rasa Dongkol, Marah Dan Dendam.
Apabila candanya menimbulkan hal-hal di atas, maka menurut para Ulama, hukumnya salah satu diantara haram atau makruh.[11]

Oleh karena itu termasuk dalam adab canda yaitu tidak bercanda dengan orang yang tidak bisa diajak bercanda. Karena bercanda dengan orang yang seperti hanya menjadi salah satu sebab permusuhan dan bisa memutus hubungan kekeluargaan. Sebagian orang menganggap semua perkataan dan perbuatan itu serius, atau tidak suka bercanda dengan orang tertentu. Berdasarkan ini, kita harus mengenali keperibadian lawan bicara kita, agar tidak salah dan berefek buruk ketika bercanda.

Candanya Bukan Dengan Seuatu Yang Metakutkan.
Apabila seperti itu, maka hukumnya tercela, bahkan bisa haram.

Dalilnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin as-Sa-ib bin Yazid dari bapaknya, dari kakeknya, dia mendengar Rasulullah bersabda:

لاَيَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيْهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا

Jangalah salah seorang diantara kalian mengambil barang saudaranya baik itu dalam rangka bercanda ataupun serius.[12]

Mengambil dengan tujuan bercanda maksudnya dia mengambil barang saudaranya dengan niat akan mengambalikannya.[13]

Dalil lainnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Laila, dia berkata, "Kami diberitahukan oleh para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa suatu ketika mereka melakukan perjalanan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , kemudian salah seorang dari mereka tertidur, sebagian dari mereka mendatanginya dan mengambil anak panahnya. Ketika orang tertidur itu terjaga dia kaget dan ketakutan, sehingga semua orang tertawa. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, "Apakah yang membuat kalian tertawa?" Mereka menjawab, "Kami mengambil anak panahnya kemudian dia terkejut." Mendengar ini, Rasulullah bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

Tidak halal bagi seorang Muslim menakuti  Muslim lainnya[14]

Canda Dilakukan Denga Tutur Kata Yang Baik Dan Perbuatan Yang Elok.
Orang yang hendak mencandai orang lain harus menjauhi perkataan yang jelek dan keji, juga harus menjauhi perbuatan buruk yang bertolak belakang dengan adab kepada teman. Karena itu semua berpotensi mendatangkan kebencian dan kedengkian.

Canda Hendaknya Diperuntukkan Bagi Orang Yang Membutuhkannya, Seperti Wanita Dan Anak-Anak. Begitulah Canda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam , Sesungguhnya Candaan Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Diperuntukkan Bagi Wanita Dan Anak-Anak.

Tujuan Dari Canda Yang Diperbolehkan

Islam membolehkan canda untuk mencapai tujuan-tujuan yang agung, diantaranya:

1. Berpartisipasi dalam memperkokoh dan mempererat hubungan antar individu masyarakat. Karena salah satu tujuan di perbolehkannya canda adalah memberikan suasana segar dalam pergaulan diantara dua orang atau lebih yang saling bersahabat dan menjaga perasaan untuk ingin selalu jumpa.

2. Meningkatkan semangat beraktivitas dan meningkatkan kemampuan dalam menangggung beban kehidupan. Karena manusia terkadang mangalami futur (lemah semangat atau lesu) dalam melakukan ibadah, bosan dengan kesibukan-kesibukan dan berbagai beban kehidupan, sehingga dia butuh refresing dan permainan yang diperbolehkan.
Khalil bin Ahmad al-Farahidi rahimahullah mengatakan bahwa manusia akan merasa terpenjara jika mereka tidak mau bercanda.[15]

Ini juga bisa menjadi metode yang jitu untuk membangkitkan semangat untuk beribadah, bekerja dan melakukan berbagai aktifitas yang positif.

3. Mempermudah untuk meluluhkan hati orang lain agar mau tunduk dan taat. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya baik kepada laki-laki, perempuan, ataupun anak-anak.

4. Mengobati hati yang lemah. Oleh karena itu, kebanyakan canda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dilakukan bersama kaum wanita dan anak-anak demi mengobati hati mereka lemah.

5. Menghadirkan senyum di bibir dan menebar kebahagian serta suka cita di hati.
Senyum dan tawa adalah hal yang dibutuhkan oleh semua orang. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terkadang tersenyum dan tertawa, namun senyum Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih sering terlihat daripada tawa. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bergaul dan bercanda dengan keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kebahagian dan rasa suka cita dalam hati-hati mereka.

6. Mendidikan orang yang diajak bercanda dan meluruskan prilakunya

Tujuan ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr al-Mazini Radhiyallahu anhu , beliau berkata, "Ibuku memintaku untuk membawakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam setangkai buah anggur, akupun memakan sebagiannya sebelum aku sampaikan kepada Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam . Setelah aku sampai dan menyerahkan anggur tersebut Beliau memegang telingaku seraya bersabda, "Wahai ghudar"[16]

Ghudar, artinya orang yang tidak menunaikan amanah.

Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah ingin bermain dan bercanda dengan anak kecil ini.

Inilah sebagian kriteria dan tujuan diperbolehkannya bercanda. Barangsiapa memperhatikan tujuan dan kriteria dalam candanya maka candanya adalah canda yang diperbolehkan. Namun, barangsiapa melanggarnya atau melanggar sebagiannya berarti dia menyimpang dari jalur kebenaran, dan terjatuh dalam canda yang tercela. Canda yang tercela : semua canda yang merusak rasa malu dan mencoreng kehormatan. Diantara kriteria canda yang tercela sebagai berikut:

Canda Yang Mengandung Unsur Ejekan Terhadap Agama Islam Atau Salah Satu Syari'atnya. Candaan Seperti Bisa Menyebabkan Orang Yang Melakukannya Keluar Dari Islam, Karena Mengejak Ajaran Islam Salah Satu Diantara Yang Bisa Membatalkan Keislaman Seseorang.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ﴿٦٥﴾ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" , Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman [At-Taubah/9:65-66]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Mengejek Allah, ayat-ayat-Nya, para Rasul-Nya merupakan kekufuran. Pelakunya bisa menjadi kafir dengan sebab perbuatannya itu."[17]

Syaikh Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah ketika menafisirkan ini mengatakan, "... Sesungguhnya menghina atau mengejek Allah Azza wa Jalla , ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya adalah berbuatan kufur yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam. Karena pokok ajaran agama ini terbangun diatas pengagungan terhadap Allah Azza wa Jalla , pengaguangan terhadap agama-Nya dan Rasul-Nya, sementara mencela salah satunya bertentangan menghilangkan pokok agama ini dan sangat bertentangan dengannya."

Semisal dengan ini, perbuatan sebagian orang yang mengejek sebagian sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , seperti mengejek jenggot, hijab atau celana yang di atas mata kaki atau sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lainnya. Perkataan dan perbuatan seperti ini adalah kemungkaran. Dan ini merupakan perbuatan orang-orang munafik. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa menjaga kita semua dari perkataan dan perbuatan yang sangat berbahaya ini.

Masalah ketuhanan, kerasulan, wahyu, dan agama merupakan masalah yang terhormat dan mulia. Siapapun tidak diperbolehkan menyia-nyiakannya, baik dengan mengejek, atau menertawakannya, atau merendahkannya. Jika ada orang yang berani melakukan itu, berarti dia telah kufur. Karena perbuatannya tersebut mengisyaratkan penghinaannya terhadap Allah Azza wa Jalla , Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan syari'at-Nya. Orang yang pernah melakukannya wajib bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dari perbuatannya yang jelek tersebut.

Diantara kesalahan yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dalam masalah ini yaitu menjadikan masalah-masalah yang ghaib yang wajib diimani sebagai bahan candaan, seperti masalah surga, neraka atau siksa kubur yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai pengingat dan motivator bagi seorang hamba untuk meraih apa yang telah dijanjikan oleh Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat.

Oleh karena itu perbuatan ini wajib dihindari.

Mengejek Orang Lain Dengan Kedipan Mata Atau Dengan Sindiran
Dalam al-Qur'an, Allah telah melarang hal tersebut, sebagaimana firman-Nya Azza wa Jalla:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman [Al-Hujurat/49: 11],

Ibnu Katsir rahimahulla berkata, "Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang perbuatan mengejek manusia, yaitu perbuatan meremehkan, dan mengoolok-olok manusia, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الكِبْرُ بَطَرُ الْـحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Kesombongan itu adalah menolak kebenaran, dan merendahkan manusia,

Perbuatan merendahkan dan meremehkan orang lain adalah perbuatan yang diharamkan. Boleh jadi orang yang direndahkan atau diremehkan lebih tinggi kedudukannya disisi Allah Azza wa Jalla , atau lebih dicintai oleh Allah Azza wa Jalla daripada orang mengejek dan merendahkan.[18]

Sebagian orang yang suka mengolok terkadang menemukan orang yang bisa mereka jadikan bahan ketawaan dan candaan. Na'udzu billah. Perbuatan seperti ini perbuatan terlarang dan hendaklah orang-orang seperti ini mengetahui dan mengingat sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ ...  كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Dia tidak boleh menzhaliminya, menghinanya dan meremehkannya .... sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan seorang Muslim diharamkan bagi Muslim yang lain.[19]

Canda Yang Bisa Mencelakai Orang Yang Dicandai
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَا يُشِيرُ أَحَدُكُمْ عَلَى أَخِيهِ بِالسِّلَاحِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي لَعَلَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِعُ فِي يَدِهِ فَيَقَعُ فِي حُفْرَةٍ مِنْ النَّارِ

Tidak boleh bagi salah seorang dari kalian mengarahkan atau mengacungkan senjata tajam kepada saudaranya, karena dia tidak tahu bisa jadi syaitan mengganggu tangannya sehingga dia bisa terjatuh kedalam kubangan api neraka[20],

Dan dalam riwayat Muslim, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أشَارَ إلَى أخِيهِ بِحَدِيدَةٍ ، فَإنَّ المَلاَئِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى يَدَعَهُ ، وَإنْ كَانَ أخَاهُ لأَبِيهِ وَأُمِّهِ

Barangsiapa mengacungkan potongan besi kepada saudaranya, maka dia dilaknat Malaikat sampai dia meninggalkannya, walaupun itu saudara seibu dan sebapak.[21]

Al-Hafiz Ibnu Hajar t berkata, "Dalam hadits tersebut terdapat larangan dari segala sesuatu yang bisa menghantarkan kepada semua yang terlarang, walaupun yang sesuatu terlarang tersebut tidak terjadi, baik itu ketika bercanda atau serius."[22]

Pada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , "Walaupun itu saudara kandungnya" terdapat penekanan dalam menjelaskan keumuman larangan, tidak diperbolehkan bercanda seperti diatas kepada siapapun, dan dalam situasi apapun, baik canda ataupun serius, karena membuat muslim menjadi takut, gusar, resah hukumnya haram pada setiap keadaan. Karena terkadang juga senjata yang dipakai bermain itu benar-benar mengenai saudaranya tanpa sengaja.[23]

Maka hati-hatilah wahai saudaraku dari perbuatan seperti di atas, perbuatan yang bisa menghantarkan kita pada ancaman dasyat, yaitu terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Canda Yang Mengandung Dusta Dan Ghibah
Poin pertama yaitu tentang candaan yang mengandung dusta sudah dijelaskan pada penjelasan di atas. Adapun poin yang kedua, yaitu ghibah, ini merupakan penyakit yang buruk dan termasuk dosa besar. Cerita Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam peristiwa Isra' mi'raj mestinya sudah memberikan gambaran betapa buruknya perbuatan ini. Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَمَّا عُرِجَ بِيْ مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُون بها وُجُوْهَهُمْ وصُدورَهم فَقُلْتُمَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُـحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِم

Ketika saya diangkat ke langit (dalam peristiwa isra' dan Mi'raj), saya melalui satu kaum yang memiliki kuku panjang terbuat dari tembaga, mereka mencakar wajah dan dada mereka, maka saya berkata, 'Siapakah mereka itu wahai Jibril? Jibril Alaihissallam menjawab, 'Mereka adalah orang yang memakan daging manusia dan mencela kehormatan mereka.'[24]

Terkadang perbuatan buruk ini terlihat indah dan bagus bagi orang sebagian orang, sehingga dia tertarik untuk melakukannya. Semua dilakukan dengan dalih canda dan untuk menghilangkan rasa jenuh dan bosan, padahal tanpa dia sadari dia telah terjatuh dalam perbuatan ghibah yang diharamkan, yang telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوااللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

Tahukah kalian, apa itu ghibah? Para Sahabat berkata, 'Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.' Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Ghibah adalah kamu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak sukai.'[25]

Jadi, canda, ramah tamah, dan membuat orang lain menjadi senang dan bahagia tidak bisa dilakukan dengan sesuatu yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla .

Akhirnya, inilah beberapa ketentuan dan tujuan bercanda. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikannya bermanfaat bagi kami dan semua yang membacanya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo - Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari majalah al-Ishlah, edisi 07, dengan judul al-Mizah fi Sunnah, karya Abdul Majid

[2] Qawa'idul Ahkam fi Mashalihul Anam,  2/391

[3] Hadist ini shahih, lihat kitab As-Shahihah,  no. 1726

[4] Sanad hadist ini shahih sesuai dengan syarat imam al-Bukhari dan Muslim. Lihat  Mukhtasar Syama'il, Imam al-AlBani, no. 203

[5] HR. Al-Bukhari, no. 5774; Muslim, no. 4003, dan Tirmizi, no. 305

[6] Fathul Bari, 10/527

[7] Al-Mirah fil Mizah, hlm. 8

[8] Diriwayatkan oleh at-Tirmizdi dalam Syama'il, no. 238, dan hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam Mukhtasharnya, no. 205

[9] Tajul 'Arus, dalam materi huruf mim za ha

[10] HR. At-Tirmidzi, no. 2315; Abu Daud, no. 4990 dan dishahihkan oleh imam al-Albani dalam Shahih at-Tirmizi no. 1885

[11] Qawaidul Ahkam,  2/391, dan al-Azkar an-Nawawiyah, hlm. 581

[12] HR. At-Tirmidzi no. 2160; dan Abu Daud, no. 5003; dan lafaz hadist dari Abu Daud

[13] Disebutkan oleh al-'Iz bin abdissalam dalam Qawa'id al-Ahkam, 2/392

[14] Imam ahmad dalam Musnadnya no.23064, dan dishahihkan oleh imam al-Albani dalam Ghayatul Maram, no. 447

[15] Al-Adab asy-Syariyah, 2/321

[16] Ibnu Sunni, no. 401; dan al-Bukhari dalam at-Tarikh, no.2673. Hadist ini menjadi hasan dengan beberapa jalan yang dimiliki

[17] Majmu' Fatawa, 4/173. Cetakan al-Ubaikan

[18] Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, 13/154. Cetakan Qurthubah

[19] Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim, no. 4650 dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu

[20] HR. Al-Bukhari dan Muslim

[21] HR. Muslim, no. 2616

[22] Fathul Bari, 13/25

[23] Dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas dalam Syarah shahih Muslim, 16/170

[24] HR. Abu Daud, no.4878. Hadist ini shahih. Lihat as-Shahihah, no. 533

[25] HR. Muslim, no.2589

Kamis, 09 Juni 2022

Manhaj Al-Qur’an Dalam Menetapkan Wujud dan Keesaan Al-Khaliq

 


Manhaj Al-Qur’an dalam menetapkan wujud Al-Khaliq serta kee­saanNya adalah satu-satunya manhaj yang sejalan dengan fitrah yang lurus dan akal yang sehat. Yaitu dengan mengemukakan bukti-bukti yang benar, yang membuat akal mau menerima dan musuh pun menyerah.

Di antara dalil-dalil itu adalah:

 

1. Sudah menjadi kepastian, setiap yang baru tentu ada yang mengadakan.
Ini adalah sesuatu yang dimaklumi setiap orang melalui fitrah, bahkan hingga oleh anak-anak. Jika seorang anak dipukul oleh seseorang ketika ia tengah lalai dan tidak melihatnya, ia pasti akan berkata, “Siapa yang telah memukulku?” Kalau dikatakan kepadanya, “Tidak ada yang memukulmu”, maka akalnya tidak dapat menerima-nya. Bagaimana mungkin ada pukulan tanpa ada yang melakukannya. Kalau dikatakan kepadanya, “Si Fulan yang memukulmu”, maka kemungkinan ia akan menangis sampai bisa membalas memukulnya.

Karena itu Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (Ath-Thur: 35)

Ini adalah pembagian yang membatasi, yang disebutkan Allah dengan shighat istifham inkari (bentuk pertanyaan menyangkal), guna menjelaskan bahwa mukadimah ini sudah merupakan aksioma (ke­benaran yang nyata), yang tidak mungkin lagi diingkari.

Dia berfir­man, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun?” Maksudnya tanpa pencipta yang menciptakan mereka, ataukah mereka mencipta­kan diri mereka sendiri? Tentu tidak. Kedua hal itu sama-sama batil. Maka tidak ada kemungkinan lain kecuali mereka mempunyai pen­cipta yang menciptakan mereka yaitu Allah Subhannahu wa Ta’ala, dan tidak ada lagi pencipta lainNya.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
“Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah …” (Luqman: 11)

“… perlihatkan kepadaKu apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi …” (Al-Ahqaf: 4)

“… apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaanNya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?” Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa”. (Ar-Ra’d: 16)

“Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali ti­dak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka ber­sa-tu untuk menciptakannya.” (Al-Hajj: 73)

“Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang.” (An-Nahl: 20)

“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 17)

Sekalipun sudah ditantang berulang-ulang seperti itu, namun ti­dak seorang pun yang mengaku bahwa dia telah menciptakan sesuatu. Pengakuan atau dakwaan saja tidak ada, apalagi menetapkan dengan bukti. Jadi, ternyata benar hanya Allah-lah Sang Pencipta, dan tidak ada sekutu bagiNya.

2. Teraturnya semua urusan alam, juga kerapiannya adalah bukti paling kuat yang menunjukkan bahwa pengatur alam ini hanyalah Tuhan yang satu, yang tidak bersekutu atau pun berseteru.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain) besertaNya, kalau ada Tuhan besertaNya, masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang dicipta­kannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.” (Al-Mu’minun: 91)

Tuhan yang hak harus menjadi pencipta sejati. Jika ada Tuhan lain dalam kerajaannya, tentu Tuhan itu juga bisa mencipta dan berbuat. Ketika itu pasti ia tidak akan rela adanya Tuhan lain bersamanya. Bahkan, seandainya ia mampu mengalahkan temannya dan menguasai sendiri kerajaan serta ketuhanan, tentu telah ia lakukan.

Apabila ia ti­dak mampu mengalahkannya, pasti ia hanya akan mengurus kerajaan miliknya. Sebagaimana raja-raja di dunia mengurus kerajaannya sendiri-sendiri. Maka terjadilah perpecahan, sehingga harus terjadi salah satu dari tiga perkara berikut ini:
  1. Salah satunya mampu mengalahkan yang lain dan menguasai alam sendirian.
  2. Masing-masing berdiri sendiri dalam kerajaan dan penciptaan, sehingga terjadi pembagian (kekuasaan).
  3. Kedua-duanya berada dalam kekuasaan seorang raja yang bebas dan berhak berbuat apa saja terhadap keduanya. Dengan demikian maka dialah yang menjadi Tuhan yang hak, sedangkan yang lain adalah hambanya.
Dan kenyataannya, dalam alam ini tidak terjadi pembagian (kekuasaan) dan ketidakberesan. Hal ini menunjukkan pengaturnya adalah Satu dan tak seorang pun yang menentangNya. Dan bahwa Ra­janya adalah Esa, tidak ada sekutu bagiNya.

3. Tunduknya makhluk-makhluk untuk melaksanakan tugasnya sendiri-sendiri serta mematuhi peran yang diberikanNya.

Tidak ada satu pun makhluk yang membangkang dari melaksanakan tugas dan fungsinya di alam semesta ini. Inilah yang dijadikan hujjah oleh Nabi Musa Alaihissalam ketika ditanya Fir’aun: “Berkata Fir’aun: ‘Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa? Musa berkata: ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian member­inya petunjuk’.” (Thaha: 49-50)

Jawaban Musa sungguh tepat dan telak, “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk ke­jadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” Maksudnya, Tuhan kami yang telah menciptakan semua makhluk dan memberi masing-masing makhluk suatu ciptaan yang pantas untuknya; mulai dari ukuran, be-sar, kecil dan sedangnya serta seluruh sifat-sifatnya. Kemudian menunjukkan kepada setiap makhluk tugas dan fungsinya.

Petunjuk ini adalah hidayah yang sempurna, yang dapat disaksikan pada setiap makhluk. Setiap makhluk kamu dapati melaksanakan apa yang men­jadi tugasnya. Apakah itu dalam mencari manfaat atau menolak bahaya. Sampai hewan ternak pun diberiNya sebagian dari akal yang mem-buatnya mampu melakukan yang bermanfaat baginya dan mengusir bahaya yang mengancamnya, dan juga mampu melakukan tugasnya dalam kehidupan. Ini seperti firman Allah Subhannahu wa Ta’ala : “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya …” (As-Sajdah: 7)

Jadi yang telah menciptakan semua makhluk dan memberinya si­fat penciptaan yang baik, yang akan manusia tidak bisa mengusulkan yang lebih baik lagi, juga yang telah menunjukkan kepada kemaslahatannya masing-masing adalah Tuhan yang sebenarnya.

MengingkariNya adalah mengingkari wujud yang paling agung. Dan hal itu merupakan kecongkakan atau kebohongan yang terang-terangan. Allah memberi semua makhluk segala kebutuhannya di dunia, kemudian menunjukkan cara-cara pemanfaatannya. Dan tidak syak lagi jika Dia telah memberi setiap jenis makhluk suatu bentuk dan rupa yang sesuai dengannya.

Dia telah memberi setiap laki-laki dan perempuan bentuk yang sesuai dengan jenisnya, baik dalam pernika­han, perasaan dan unsur sosial. Juga telah memberi setiap anggota tu­buh bentuk yang sesuai untuk suatu manfaat yang telah ditentukan-Nya.

Semua ini adalah bukti-bukti nyata bahwasanya Allah Subhannahu wa Ta’ala adalah Tuhan bagi segala sesuatu, dan Dia yang berhak disembah, bukan yang lain. “Pada setiap benda terdapat bukti bagiNya, yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa.” Kemudian, tak diragukan lagi, maksud penetapan rububiyah Allah atas makhlukNya dan keesaanNya dalam rububiyah adalah untuk menunjukkan wajibnya menyembah Allah semata, tanpa sekutu bagiNya, yakni tauhid uluhiyah.

Seandainya seseorang mengakui tauhid rububiyah tetapi tidak mengimani tauhid uluhiyah, atau tidak mau melaksanakannya, maka ia tidak menjadi muslim dan bukan ahli tauhid, bahkan ia adalah kafir jahid (yang menentang). Dan tema inilah yang akan kita bahas pada pasal berikutnya, insya Allah.

Kamis, 02 Juni 2022

Alam Semesta Dan Fitrahnya, Tunduk Dan Patuh Kepada Allah

 


Sesungguhnya alam semesta ini: langit, bumi, planet, bintang, hewan, pepohonan, daratan, lautan, malaikat, serta manusia seluruh-nya tunduk kepada Allah dan patuh kepada perintah kauniyah-Nya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “…padahal kepadaNya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa …” (Ali Imran: 83)

“… bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepadaNya.” (Al-Baqarah: 116)

“Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri.” (An-Nahl: 49)

“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gu-nung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan seba-gian besar daripada manusia?” (Al-Hajj: 18)

“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.” (Ar-Ra’d: 15)

Jadi seluruh benda alam semesta ini tunduk kepada Allah, patuh kepada kekuasaanNya, berjalan menurut kehendak dan perintahNya. Tidak satu pun makhluk yang mengingkariNya. Semua menjalankan tugas dan perannya masing-masing serta berjalan menurut aturan yang sangat sempurna.
Penciptanya sama sekali tidak memiliki sifat kurang, lemah dan cacat. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya ber-tasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (Al-Isra’: 44)

Jadi seluruh makhluk, baik yang berbicara maupun yang tidak, yang hidup maupun yang mati, semuanya tunduk kepada perintah kauniyah Allah. Semuanya menyucikan Allah dari segala kekurangan dan kelemahan, baik secara keadaan maupun ucapan. Orang yang berakal pasti semakin merenungkan makhluk-makhluk ini, semakin yakin itu semua diciptakan dengan hak dan untuk yang hak. Bahwasanya ia diatur dan tidak ada pengaturan yang keluar dari aturan Penciptanya. Semua meyakini Sang Pencipta dengan fitrahnya.

Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Mereka tunduk menyerah, pasrah dan terpaksa dari berbagai segi”, di antaranya:
Keyakinan bahwa mereka sangat membutuhkanNya.
Kepatuhan mereka kepada qadha’, qadar dan kehendak Allah yang ditulis atas mereka.
Permohonan mereka kepadaNya ketika dalam keadaan darurat atau terjepit.
Seorang mukmin tunduk kepada perintah Allah secara ridha dan ikhlas. Begitu pula ketika mendapatkan cobaan, ia sabar menerima-nya. Jadi ia tunduk dan patuh dengan ridha dan ikhlas.” [1] Sedangkan orang kafir, maka ia tunduk kepada perintah Allah yang bersifat kauni (sunnatullah).

Adapun maksud dari sujudnya alam dan benda-benda adalah ketundukan mereka kepada Allah. Dan masing-masing benda bersujud menurut kesesuaiannya, yaitu suatu sujud yang sesuai dengan kon­disinya serta mengandung makna tunduk kepada Ar-Rabb. Dan ber­tasbihnya masing-masing benda adalah hakikat, bukan majaz, dan itu sesuai dengan kondisinya masing-masing.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menafsirkan firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepadaNya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Ali Imran: 83)

Dengan mengatakan, “Allah Subhannahu wa Ta’ala menyebutkan ketundukan benda-benda secara sukarela dan terpaksa, karena seluruh makhluk wajib beribadah kepadaNya dengan penghambaan yang umum, tidak peduli apakah ia mengakuiNya atau mengingkariNya. Mereka semua tunduk dan diatur. Mereka patuh dan pasrah kepadaNya secara rela maupun terpaksa.”[2]

Tidak satu pun dari makhluk ini yang keluar dari kehendak, takdir dan qadhaNya. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah. Dia adalah Pencipta dan Penguasa alam. Semua milikNya. Dia bebas berbuat terhadap ciptaanNya sesuai dengan kehendakNya. Semua adalah ciptaanNya, diatur, diciptakan, diberi fitrah, membutuhkan dan dikendalikanNya. Dialah Yang Mahasuci, Mahaesa, Mahaperkasa, Pencipta, Pembuat dan Pembentuk.


[1] Majmu’ Fatawa, I, hal. 45.
[2] Majmu’ Fatawa, X, hal. 200.

Doa Membasuh Anggota Wudhu

 

1.Pengertian Wudhu

Wudhu merupakan salah satu di antara cara untuk menghilangkan hadats, yakni hadats kecil. Wudhu biasanya dilakukan sebelum ibadah yang mengharuskan adanya kebersihan dan kesucian dari hadats kecil bagi yang akan melakukan ibadah tersebut, seperti contoh shalat.

Perintah melaksanakan wudhu sebelum shalat terdapat dalam Surat Al-Maidah ayat 6:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.”

Dengan adanya ayat tersebut, Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib-nya mengatakan bahwa perintah shalat sangat berkaitan erat dengan wudhu. Salah satu pendapat yang dikutip Ar-Razy mengatakan bahwa wajib bersuci (dengan wudhu) saat akan melaksanakan shalat. Jika tidak ada air maka boleh dilaksanakan dengan tayamum, yakni dengan debu.

Jika Ar-Razy mengatakan bahwa inti dari ayat tersebut adalah thaharah qabla shalat (bersuci sebelum shalat) maka sah-sah saja. Karena bertemu, menghadap dan beribadah kepada Allah, Dzat Yang Suci dan mencintai kesucian dan kebersihan tidak bisa dilaksanakan tanpa bersuci. Tentu sangat tidak pantas sekali.

Hal ini senada dengan arti dari kata wudhu sendiri yang berasal dari kata wadha’ah yang berarti hasan (bagus) dan bahjah (indah atau elok). Sedangkan menurut syara’, sebagaimana diungkapkan dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji ala Madzhabis Syafi’i:

اسم لفعل الذي هو استعمال الماء في أعضاء معينة مع النية

Artinya, “Sebuah nama untuk menunjukan perkerjaan yang berupa menggunakan air pada anggota-anggota badan tertentu disertai dengan niat.”

Adapun jika wawu-nya difathah (wadhu’) maka artinya berbeda dengan wudhu. Wadhu adalah nama untuk menyebut alat yang digunakan untuk berwudhu, yakni air.

Wudhu juga tidak selamanya berarti sebuah ritual bersuci sebelum shalat atau beribadah yang lain.

Dalam hadits disebutkan:

تَوَضَّؤُوا مِمَّا غَيَّرَتِ النارُ

Wudhu dalam konteks di atas berarti membasuh tangan dan mulut setelah makan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Lisanul Arab;

أَراد بِهِ غَسْلَ الأَيدِي والأَفْواهِ مِنَ الزُّهُومة

Artinya, “Yang dimaksud kata ‘berwudhulah’ dalam hadits di atas adalah membasuh tangan dan mulut agar terbebas dari bau.”

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa :

Pengertian Wudhu menurut bahasa, Wudhu artinya Bersih dan Indah. Sedangkan menurut istilah (syariah islam) artinya menggunakan air pada anggota badan tertentu dengan cara tertentu yang dimulai dengan niat guna menghilangkan hadast kecil. Wudhu merupakan salah satu syarat sahnya sholat (orang yang akan sholat, diwajibkan berwudhu lebih dulu, tanpa wudhu shalatnya tidak sah.

Hukum berwudhu adalah wajib dilakukan dalam mengerjakan shalat seperti dalam sabda Nabi Muhammad: .

“Tidak diterima sholatmu tanpa Bersuci atau Wudhu (HR. Muslim). dan “Bersuci atau Berwudhu adalah sebagian dari iman (HR. Muslim).

Berwudhu memiliki banyak keutamaan dan manfaat dalam berwudhu yang telah banyak diterangkan dari Sabda Nabi Muhammad SAW:

“Barang siapa yang berwudhu secara sempurna, maka dosa-dosanya akan gugur atau hilang di jasad-nya hingga keluar juga dari bawah kuku-kuku’nya" (HR. Muslim). dan “Sesungguh Umatku kelak akan datang pada hari kiamat dalam keadaan muka dan kedua tangannya kemilau bercahaya karena bekas Berwudhu”.


2. Doa Sebelum dan Sesudah Wudhu


Seperti yang kita ketahui didalam setiap gerakan wudhu, mempunyai bacaan doa-doa tersendiri, dari doa ketika melihat air, doa ketika berkumur, doa ketika membersihkan lubang hidung, doa ketika membasuh wajah, doa ketika membasuh tangan kanan dan kiri, sampai doa pada saat membasuh kaki kanan dan kiri.

Didalam Hadist Muslim dan Bukhari juga di riwayatkan bahwa Rasulullah Saw, pada saat berwudhu beliau juga membaca doa di setiap gerakan wudhu, dengan membaguskan di setiap gerakan wudhu.

Berikut ini adalah bunyi hadist tersebut.

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسِنُ الوُضُوْءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجُ مِنْ تَحْتَ أَظْفَارَهَ
Artinya:
Rasulullah bersabda, "Barangsiapa berwudhu dengan membaguskan wudhu'nya, maka keluarlah dosa-dosanya dari kulitnya sampai  kuku jari-jemarinya". (HR. Muslim)

Didalam hadist diatas Rasullulah Saw, berwudhu dengan membaguskan wudhunya supaya dosa-dosa keluar dari kulit sampai kuku jari jemarinya.

 

Berikut ini adalah doa-doa yang dibaca saat membasuh anggota-anggota wudhu pada saat wudhu dalam bahasa Arab latin Dan terjemahnya.

 

 

1. Doa Ketika Melihat Air

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي جَعَلَ اْلمَاءَ طَهُوْرًا

Al-hamdu lillahilladzi ja'alal-ma'a tahuran
Artinya :
"Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menjadikan Air suci lagi mensucikan"



2. Doa Ketika Membasuh Telapak Tangan

اَللّٰهُمَّ احْفَظْ يَدَيَّ مِنْ مَعَاصِكَ كُلِّهَا
Allohummahfadz Yadayya Min Ma'asyika Kulliha
Artinya :
"Ya Allah peliharalah kedua tanganku dari semua perbuatan maksiat pada-Mu"



3. Doa Saat Berkumur

اَللّٰهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Allohumma a'inni 'Ala Dzikrika wa Syukrika wahusni 'Ibadatika
Artinya:
"Ya Allah bantulah aku untuk selalu berdzikir kepadamu dan selalu memperbaiki ibadah kepadamu"

 

4. Doa Ketika Menghirup Air Ke Hidung

اَللّٰهُمَّ أَرِحْنِي رَائِحَةَ الجَـنَّةِ وَاَنْتَ عَنِّي رَاضٍ
Allohumma Arihni Roihatal Jannati wa anta annii rodliin
Artinya:
"Ya Allah berikan aku penciuman wewangian syurga dan keadaan Engkau terhadap diriku yang selalu meridhoi"
Niat Berwudhu

نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلاَصْغَرِ فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitul whudu-a lirof'il hadatsii ashghori fardhon lillaahi ta'aalaa
Artinya :
"Saya niat berwudhu untuk menghilangkan hadast kecil fardu (wajib) karena Allah ta'ala"
5. Doa Ketika Membasuh Muka
(Setelah membaca niat wudhu dalam hati)

اَللّٰهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِى يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ

Allohumma bayyid wajhiy yauma tabyadu wujuuh wa taswaddu wujuuh

Artinya:
"Ya Allah putihkan wajahku pada hari menjadi putih berseri wajah-wajah kaum muslimin dan menjadi hitam legam wajah-wajah orang kafir"


 

6. Doa Ketika Membasuh Tangan Kanan

اَللّٰهُمَّ اَعْطِنِى كِتاَبِى بِيَمِيْنِى وَحَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيْرًا
Allohumma A'thini kitabi biyamini wa hasibni hisaban yasiro
Artinya:
"Ya Allah berikanlah kepadaku kitab amalku dari dari tangan kananku dan hisablah aku dengan penghisaban yang ringan"

 

7. Doa Ketika Membasuh Tangan Kiri

اَللّٰهُمَّ لاَ تُعْطِنِى كِتاَبِى بِشِمَالِى وَلاَمِنْ وَرَاءِ ظَهْرِىْ
Allohumma Laa Ta'thini Kitabi bisyimali walaa min waro'i dzohri

Artinya:
"Ya Allah jangan Engkau berikan kepadaku kitab amal dari tangan kiriku atau pada belakang punggungku"

 

 

8. Doa Ketika Mengusap Rambut Kepala

اَللّٰهُمَّ حَرِّمْ شَعْرِيْ وَبَشَرِيْ عَلَى النَّارِ
Allohumma harrim sya'ri wabasyari 'Alannari
Artinya:

"Ya Allah haramkan rambutku dan kulitku atas api neraka"

 

9. Doa Ketika Membasuh Kedua Telinga


اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ اْلقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ
Allohummaj'Alni minalladzina yastami'unal Qoula fayattabi'una ahsanahu

Artinya:
"Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mendengarkan nasehat dan mengikuti sesuatu yang terbaik"

 

10. Doa ketika Membasuh Kaki Kanan

 
اَللّٰهُمَّ ثَبِّتْ قدَمَيَّ عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ تُثَبِّتُ فِيْهِ اَقْدَامَ عِبَادِكَ الصَالِحِينَ
Allohumma Tsabbit Qodamayya 'Alaas Syirothi yauma tutsabbitu fiihi Aqdama 'ibaadikas shoolihiin
Artinya:
"Ya Allah, mantapkan kedua kakiku di atas titian (shirothol mustaqim) pada hari dimana banyak kaki-kaki yang tergelincir"

 

11. Doa Ketika Membasuh Kaki Kiri

اَللّٰهُمَّ لَاتَزِلُّ قدَمَيَّ عَلَى الصِّرَاطِ فِي النَّارِ يَوْمَ تَزِلُّ فِيْهِ اَقْدَامُ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْمُشْرِكِينَ
Allohumma laa tazillu Qodamayya 'Alaa Syirothi fin naar yauma tazillu fiihi Aqdamul munaafiqiina wal musyrikiina

Artinya:

"Ya Allah jangan kau gelincirkan langkah (pendirianku) pada jalan neraka pada hari digelincirkannya langkah (pendirian) orang-orang munafik dan orang-orang musyrik"

 

12. Doa Setelah Berwudhu


اَشْهَدُ اَنْ لاَّاِلَهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنِىْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِىْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ


Asyhadu allaa ilaaha illalloohu wahdahuu laa syariika lahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuuwa rosuuluhuu, alloohummaj’alnii minat tawwaabiina waj’alnii minal mutathohhiriina

Artinya:
"Aku bersaksi, tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku mengaku bahwa Nabi Muhammad itu adalah hamba dan Utusan Allah. Ya Allah, jadikanlah aku dari golongan orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku dari golongan orang-orang yang bersuci"